Menelaah celah korupsi di proyek infrastruktur. Yang terbaru, dugaan korupsi pembangunan Tol Layang MBZ yang diusut Kejagung. (ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah) Jakarta, CNN Indonesia --

Menilik Celah Korupsi Proyek Infrastruktur Berkaca pada Kasus Tol MBZ

Infrastruktur Hits: 161
Sumber Berita: Cnnindonesia.com

Kasus korupsi kembali terjadi di proyek infrastruktur. Kali ini, kasus korupsi diduga terjadi dalam pembangunan Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II alias Tol MBZ pada 2016-2017, yang tengah disidik Kejaksaan Agung (Kejagung).

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kuntadi mengatakan modus yang dilakukan adalah mengurangi spesifikasi atau volume proyek dan mengatur pemenang tender.

Ia menjelaskan perbuatan tersebut dilakukan secara bersama-sama oleh tiga tersangka, yakni Djoko Dwijono (DD) selaku Dirut PT Jasamarga Jalan layang Cikampek (JCC) periode 2016-2020, YM selaku Ketua Panitia lelang proyek JCC, serta TBS selaku tenaga ahli jembatan PT LAPI Ganeshatama Consulting.

Baru-baru ini, Kejagung mengungkap secara spesifik modus kecurangan dalam proyek tol MBZ itu.

Kasubdit TPPU Direktorat Penyidikan Jampidsus Haryoko Ari Prabowo mengatakan aksi korupsi tersebut dilakukan para tersangka dengan mengurangi spesifikasi atau volume proyek.

Ia menyebut proyek jalan layang yang seharusnya dibangun dengan menggunakan rangka beton itu justru diubah menjadi rangka baja.

Kendati demikian, Haryoko enggan membeberkan lebih lanjut siapa sosok tersangka yang berperan melakukan perubahan tersebut.

Kejagung masih berkoordinasi dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung total kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut.

Kasus korupsi di proyek infrastruktur bukan kali pertama terjadi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat menemukan jumlah kasus dan kerugian negara akibat korupsi Pengadaan Barang/Jasa (PBJ), khususnya pembangunan infrastruktur, setiap tahun masih tinggi.

Pada 2022, ada 250 dari 579 total kasus korupsi yang ditindak aparat penegak hukum berkaitan dengan PBJ. Dari 250 kasus itu, 58 persen di antaranya merupakan PBJ infrastruktur, termasuk pembangunan jalan dan jembatan.

ICW yakin korupsi infrastruktur lebih tinggi di lapangan dibanding angka penindakan yang dilakukan penegak hukum.

Lantas, bagaimana celah terjadinya korupsi dalam proyek infrastruktur?

Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah melihat maraknya kasus korupsi di proyek infrastruktur terjadi lantaran tata kelola yang tidak baik, dari mulai perencanaan hingga pengawasan proyek.

"Dalam hal ini Kementerian PUPR dan para pemenang tender harusnya menerapkan tata kelola good corporate. Tapi itu ternyata lemah sekali mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pengawasan, jadi penuh dengan pelanggaran integritas," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (22/11).

Trubus mengatakan pelanggaran integritas oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proyek infrastruktur merupakan masalah klasik yang kerap terjadi. Mengerutnya, akar masalah bukan terjadi pada sistem, melainkan sumber daya manusia (SDM).

Ia menambahkan pelanggaran integritas juga dipicu oleh tenggat waktu pengerjaan yang sering dikebut, khususnya untuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Akibatnya, pengawasannya lemah.

Trubus mengataakan pengawasan proyek sebenarnya dilakukan oleh berbagai pihak, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Tapi kan kembali persoalannya pada moralitas masing-masing lembaga," katanya.

Trubus mengatakan ada tiga hal yang harus dilakukan, khususnya oleh Kementerian PUPR selalu regulator, agar kasus korupsi proyek infrastruktur tidak terulang.

Pertama, memperbaiki tata kelola mulai dari perencanaan hingga pengawasan. Terkait pengawasan, ia mengatakan Kementerian PUPR mesti bersinergi dengan aparat penegak hukum.

Kedua, pembenahan SDM yang terlibat proyek. Ketiga, meningkatkan partisipasi publik.

"Hal seperti itu (korupsi) biasanya terjadi karena minimnya keterlibatan publik. Publik susah akses, tiba-tiba proyeknya sudah jadi. Kayak Tol MBZ itu kan tiba-tiba sudah jadi, masyarakat enggak dibuka secara transparan perkembangannya seperti apa," imbuhnya.

Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan mega proyek infrastruktur rawan korupsi karena proses pengawasan dari mulai perencanaan sampai pengadaan barang jasa dikalahkan dengan prinsip kecepatan penyelesaian proyek.

Ia mengatakan selama ini pembangunan proyek infrastrukturnya hanya mementingkan kecepatan pengerjaan tapi tata kelola dan kualitasnya buruk. Padahal proyek infrastruktur berkaitan dengan keselamatan pengguna.

Bhima menjelaska ada sejumlah celah korupsi dalam proyek infrastruktur. Pertama, oknum BUMN yang mendapat penugasan bekerja sama dengan vendor proyek, sehingga spesifikasi proyek dimanipulasi untuk memenangkan vendor tersebut dalam lelang.

"Kedua, auditor internal dan auditor eksternal tidak memiliki kemampuan atau sengaja ikut dalam skema kecurangan sehingga proses audit meloloskan proyek yang bermasalah," katanya.

Lalu ketiga, adanya mark up nilai proyek atau pengadaan barang jasa secara tidak wajar sehingga muncul kerugian negara dan kualitas proyek yang tidak sesuai.

Keempat, proses perencanaan oleh konsultan tidak melalui studi yang serius. Konsultan hanya jadi tukang cap untuk mendapat legitimasi bahwa sudah dilakukan uji kelayakan proyek.

Bhima mengatakan untuk mengatasi hal itu yang harus dilakukan adalah pengawasan yang lebih ketat dari mulai tahap perencanaan proyek. Keterlibatan KPK, BPK, BPKP, dan kejaksaaan, lanjutnya, harus benar-benar intens sejak seleksi proyek.

"Gunakan auditor yang tidak memiliki rekam jejak buruk dan menjaga kredibilitas. Kemudian konsultan, saat uji kelayakan sebaiknya tidak memiliki konflik kepentingan atau independen. Serta mendorong transparansi dalam proses pengadaan barang jasa yang terkait proyek infrastruktur," kata Bhima.

Sementara itu, Pengamat Transportasi dan Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan korupsi di proyek infrastruktur berkaitan dengan kekuasan dalam politik.

"Korupsi di konstruksi adalah bagian dari budaya korupsi di kekuasaan. Kalau budaya dalam kekuasaan politik itu tidak lepas dari persoalan budaya korupsi, dia akan merambah ke semua sektor," katanya.

Ia mengatakan korupsi memang terjadi karena ada masalah budaya di pada orang Indonesia. Mengutip istilah antropolog Koentjaraningrat, masyarakat Indonesia memiliki mentalitas suka menerabas di mana ingin cepat sukses dan kaya tapi bekerja keras.

Yayat menjelaskan jika orang-orang yang mengerjakan proyek infrastruktur memiliki budaya ingin cepat kaya, bukan mengerjakannya dengan profesionalitas, maka yang terjadi adalah korupsi.

"Artinya apa? Kita itu punya mental yang sebetulnya sekedar ingin cari kekuasaan, bekerja ala kadarnya, dan hanya sekadar jadi,"katanya.

 

(pta)

Print