Pemerintahan Prabowo-Gibran 2024-2029 diharapkan menjadikan pariwisata sebagai sektor prioritas. Hal ini mengingat sektor pariwisata memberikan sumbangan besar ke produk domestik bruto (PDB) setelah minyak dan gas.
Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025, pemerintah menargetkan peningkatan nilai devisa pariwisata sebesar US$ 22,1 miliar, serta kontribusi pariwisata terhadap produk domestik bruto (PDB) ditargetkan meningkat menjadi sebesar 4,6%.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan bahwa hal tersebut bisa tercapai. Apalagi pariwisata memiliki sektor yang beragam, tentu ini menjadi suatu potensi besar jika dikelola dengan baik.
"Pariwisata itu luas, mencakup transportasi, akomodasi, dan atraksi. Jika semuanya digabungkan, mungkin kontribusinya bisa 5% lebih PDB,” kata dia, dikutip Selasa (29/10/2024).
Tahun lalu, PDB nasional mencapai Rp 20.892 triliun. Dengan demikian, kontribusi pariwisata ke PDB mencapai Rp 1.044 triliun.
Menurut dia, yang terpenting adalah dampak positif bagi masyarakat dan peningkatan kesejahteraan. Salah satunya dengan pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan dan memperhatikan kearifan lokal, seperti memberdayakan UMKM.
Selain itu, dia menilai, perbaikan regulasi perlu dilakukan, seperti yang terkait aktivitas online travel agent (OTA) asing. Sebab, selama ini, OTA asing membebankan PPN dan pajak komisi kepada hotel.
Namun, dia menyatakan, yang membuat regulasi haruslah orang-orang yang memahami seluk-beluk pariwisata. "Itu harus diatur ulang, siapa sih yang memungut, siapa yang dipungut dan siapa yang membayar ke pemerintah? Itu harus clear terlebih dahulu oleh pemerintah," terang dia.
Pengamat Pariwisata Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Chusmeru mengungkapkan, pariwisata masih memiliki banyak persoalan yang menghambat pertumbuhannya. Salah satunya terkait regulasi untuk OTA asing yang beroperasi tanpa mematuhi aturan lokal.
Menurut dia, kondisi ini merugikan pelaku usaha lokal, terutama di sektor akomodasi, dan menciptakan ketidakadilan di pasar. "Salah satu masalah utama adalah OTA asing yang tidak memiliki badan usaha tetap (BUT) dan tidak dikenakan pajak, sementara pelaku lokal harus menanggung pajak yang tinggi," ujar dia.
Dia menekankan, OTA asing sering memaksa hotel untuk mengikuti harga yang mereka tetapkan, yang tentu merugikan pendapatan hotel lokal. Chusmeru menganggap isu ini perlu menjadi prioritas dalam program 100 hari kerja Menteri Pariwisata Widiyanti Putri, yang tidak hanya akan melindungi pelaku usaha lokal tetapi juga menciptakan iklim usaha yang lebih adil.
"Penting bagi pemerintah untuk segera merumuskan kebijakan jelas mengenai regulasi OTA, termasuk kewajiban pembayaran pajak," tegas dia.
Dia juga menyoroti perlunya anggaran yang lebih optimal untuk promosi pariwisata, yang selama ini lemah karena keterbatasan anggaran. Selain itu, pemerintah diharapkan fokus pada pariwisata berkualitas dan regeneratif, yang tidak hanya mengejar jumlah kunjungan tetapi kualitas wisatawan yang berdampak positif bagi ekonomi lokal.
Comments powered by CComment