Sumber gambar, Detik/Pradita Utama  Keterangan gambar, Petugas SPBU sedang melayani konsumen.

Pertamax oplosan jadi 'bola liar' yang menggerus kepercayaan konsumen - Pertamina harus uji coba terbuka agar publik percaya?

Sumber Berita: www.bbc.com

Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada anak usaha PT Pertamina telah menggerus kepercayaan konsumen dan publik terhadap produk perusahaan pelat merah tersebut.

 

Di media sosial mulai gencar ajakan untuk beralih ke produk asing, bahkan ada yang berinisiatif mengajukan gugatan class action ke pengadilan sebagai bentuk kekecewaan karena merasa telah ditipu.

Ini karena sebelumnya Kejaksaan Agung menyatakan salah satu modus yang dilakukan para pelaku korupsi yakni "mengoplos" impor minyak produk kilang dari yang tadinya RON 90 (setara Pertalite) menjadi menjadi RON 92 (setara Pertamax).

Meski belakangan PT Pertamina menyanggah pernyataan Kejaksaan dan menyebut tidak ada pengoplosan bahan bakar minyak Pertamax. Serta mengeklaim kualitas Pertamax dipastikan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92 –dan hal ini belakangan dibenarkan oleh Kejaksaan Agung.

Tapi bagaimanapun, menurut para pengamat energi dan perminyakan, kemarahan publik sudah kadung tak terbendung. Karenanya pengamat menyarankan badan pengawas seperti BPH Migas atau Lemigas untuk melakukan pembuktian secara terbuka.

"Pertamina bisa menggandeng ahli untuk menguji dengan mengambil sampling apakah benar kualitasnya sesuai. Kalau terbukti ada pengoplosan, maka harus ditarik dari peredaran. Tanpa itu, masyarakat enggak akan percaya," ujar pengamat eneri sekaligus peneliti senior di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pusekra) UGM, Fahmy Radhi.

"Imbasnya akan terjadi migrasi besar-besaran dari Pertamax ke Pertalite."

Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Petugas SPBU sedang membersihkan papan penampang harga bahan bakar minyak di SPBU Pertamina.

Tiga modus korupsi yang menjerat anak usaha Pertamina

Sejumlah petinggi Pertamina terseret dalam jeratan kasus dugaan korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang minyak antara tahun 2018-2023.

Dalam pemaparannya, Kejaksaan Agung menyebutkan setidaknya ada tiga modus yang dilakukan para tersangka.

Modus pertama, mengondisikan produk minyak bumi dalam negeri menjadi berkurang dan tidak memenuhi nilai ekonomis yang berakibat tidak terserapnya seluruh produk kilang.

Padahal pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri dan Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor.

Ketentuan itu diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri.

Dampak dari pengondisian tersebut, menurut Kejaksaan, perlu dilakukan impor.

Modus kedua, agar impor minyak bisa dilakukan, produk minyak mentah dalam negeri dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan dalih tidak memenuhi nilai ekonomis.

Padahal harga yang ditawarkan masih masuk rentang harga perkiraan sendiri.

Selain itu produk minyak mentah KKKS ditolak dengan alasan tidak sesuai dengan spesifikasi kilang minyak. Padahal, minyak tersebut masih sesuai dengan spesifikasi kilang Pertamina dan masih bisa diolah dengan dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.

Penolakan ini lah yang dijadikan dasar untuk menjual minyak mentah produksi Indonesia ke luar negeri atau diekspor.

Sementara, PT Kilang Pertamina Internasional malah melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang.

Dari kegiatan pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang tersebut, Kejaksaan Agung menyebut menemukan adanya "permufakatan" antara penyelenggara negara dengan broker berupa kesepakatan harga yang sudah diatur sebelum tender dilaksanakan.

Modus ketiga, kata Kejaksaan, untuk pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva Siahaan membayar produk untuk RON 92 (setara Pertamax). Padahal produk yang dibeli memiliki RON 90 (setara Pertalite) atau lebih rendah.

Produk tersebut lantas dicampur di depo untuk menjadi RON 92.

"Jadi dia [tersangka] mengimpor RON 90, 88, dan di bawah RON 92. Hasil impor ini dimasukkan dulu ke storage di Merak [Banten]. Nah, lalu di-blended [campur] lah di situ supaya kualitasnya itu jadi trademark-nya [merek dagang] RON 92," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar saat dihubungi BBC News Indonesia, Selasa (25/02).

"Bahasa awamnya itu macam oplosan kan."

Oplosan yang menjadi bola liar

Narasi oplosan yang diutarakan Kejaksaan Agung rupanya langsung bikin publik meradang.

Di media sosial X, percakapan soal Pertamax menjadi trending topic yang banyak dibicarakan.

Mayoritas warganet merasa tertipu karena sudah membeli Pertamax dengan harga yang tak murah, tapi malah mendapatkan produk berbeda dengan kualitas lebih rendah.

Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Seorang pekerja PT Pertamina mengisi truk dengan BBM di Jakarta pada 22 Agustus 2008.

Ajakan untuk beralih ke produk asing pun menggema, bahkan ada yang berinisiatif mengajukan gugatan ke pengadilan sebagai bentuk kekecewaan.

Hentikan Twitter pesan
Izinkan konten Twitter?

Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah 'terima dan lanjutkan'.

Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal

Lompati Twitter pesan

Pengamat energi sekaligus peneliti senior di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pusekra) UGM, Fahmy Radhi, mengatakan kemarahan publik ini tak bisa terhindarkan–apalagi karena yang menyampaikan adalah aparat penegak hukum.

Tapi, menurut Direktur Center for Energy Policy M Kholid Syeirazi, dalam proses pengolahan Bahan Bakar Minyak (BBM) memang ada unsur "mencampur" senyawa kimia untuk menghasilkan spesifikasi minyak tertentu.

"Itu namanya blending dan proses tersebut legal," ujar Kholid kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/02).

"Hanya saja blending di sini berbeda dengan oplos. Kalau oplos kesannya perbuatan curang di lapangan."

"Tapi blending di terminal utama BBM melalui proses kimia yang saintifik, ada uji kalibrasinya oleh Lemigas."

Lemigas merupakan salah satu lembaga pemerintah yang memiliki wewenang untuk memeriksa dan menentukan standar mutu minyak dan gas bumi yang beredar di pasar nasional.

Namun sebelum lebih jauh, ia menjelaskan bahwa Indonesia resmi menjadi importir netto minyak sejak 2004 akibat kesenjangan produksi dan konsumsi.

Selama periode 1998-2023, konsumsi BBM rata-rata naik 2% setiap tahun. Sedangkan produksinya rata-rata turun 3% setiap tahun.

Sepanjang satu dekade antara 2003-2023, katanya, rata-rata produksi minyak hanya 734.000 barel per hari, sementara konsumsinya 1,5 juta barel per hari.

"Untuk tahun 2023, produksi minyak hanya 605.000 barel per hari dan konsumsi 1,6 juta barel per hari. Gap-nya terus melebar," papar Kholid.

"Dari itu saja sudah pasti kita harus mengimpor karena tak ada jalan lain untuk menjamin pasokan."

"Dan ini memang menurut saya ranjaunya banyak, rentan terjadi perburuan rente."

Pihak yang ditugaskan mengimpor minyak mentah adalah PT Kilang Pertama Internasional yang nanti diolah untuk berbagai produk BBM dan petrokimia.

Sedangkan yang ditugaskan mengimpor produk kilang dan mendistribusikan ke seluruh SPBU yakni PT Pertamina Patra Niaga.

"Produk kilang itu yang sudah jadi seperti misalnya RON 90, RON 92, RON 95. Sudah diolah dan tinggal didistribusikan saja."

Hanya saja, khusus produk BBM dengan oktan 90 sudah jarang diproduksi. Sehingga ketika ada kebutuhan untuk menyediakan produk yang dimandatkan, maka perusahaan harus mencampur minyak kilang yang tersedia sesuai dengan spesifikasi tertentu.

Dalam perkara ini, menurut pandangan Kholid, PT Pertamina Patra Niaga yang mengimpor RON 92 (setara Pertamax) pada akhirnya mengolah lagi sehingga menjadi RON 90 (setara Pertalite).

Proses pengolahan tersebut, sambungnya, dicampur dengan senyawa kimia untuk mengubah kadar oktannya.

"Dan itu proses kimia yang saintifik, nanti hasil blending-nya diuji betul enggak menghasilkan Oktan 90 atau Oktan 92? Itu ada uji kalibrasinya oleh Lemigas."

Ahli konversi energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Tri Yuswidjajanto Zaenuri, sependapat.

Dia menerangkan, proses mencampurkan minyak mentah atau produk kilang dengan senyawa tertentu seperti High Octane Mogas Component (HOMC) agar mendapatkan BBM yang dibutuhkan, merupakan hal yang lazim.

"Ada lagi kalau ingin naikin RON pakai octane booster, bukan HOMC, ada juga yang pakai aditif namanya."

"Jadi enggak masalah, karena di dunia ini semua perusahaan bahan bakar seperti itu, melakukan blending, atau istilah lainnya oplos."

Pertamina harus lakukan uji coba terbuka agar publik percaya?

Masalahnya, narasi Pertamax oplosan ini sudah kadung tak terbendung yang berimplikasi pada munculnya ketidakpercayaan di masyarakat pada produk Pertamina.

Pengamat energi sekaligus peneliti senior di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pusekra) UGM, Fahmy Radhi, menuturkan Pertamina tidak bisa hanya membuat klaim kualitas Pertamax sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92, tanpa ada pembuktian.

Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Pengendara mengantri di SPBU PT Pertamina di Pangkal Pinang, Indonesia, pada Minggu, 4 September 2022.

Pembuktian yang dimaksud, yakni menggandeng ahli di bidang perminyakan untuk melakukan pengujian.

"Kalau diuji terbukti hasil pengoplosan, harus ditarik seluruh Pertamax dan diganti dengan yang asli," ucapnya.

"Karena kalau banyak orang percaya ada Pertamax oplosan, akan terjadi migrasi besar-besaran dari Pertamax ke Pertalite."

"Ini kan jadi masalah lagi, karena Pertalite disubsidi. APBN pasti membengkak untuk membiayai subsidi tadi akibat ketidakpercayaan."

Ahli konversi energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Tri Yuswidjajanto Zaenuri, sepakat. Ia bilang Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) harus bicara dan menjelaskan duduk perkara "oplosan" ini.

Sebab BPH Migas adalah badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian BBM.

"Terus Lemigas yang melakukan pengujian rutin, angkat bicara dan jelaskan bahwa kami melakukan pengujian rutin untuk mengetahui kualitas dari bahan bakarnya."

"Jangan Pertamina, kalau Pertamina yang bicara, pasti tidak dipercaya. Mana ada produsen yang mengeklaim produknya nomor dua, semua bilang nomor satu."

Gugatan 'class action'

Sumber gambar, ANTARA Keterangan gambar, Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax pada kendaraan di salah satu SPBU, Ternate, Maluku Utara pada 2 Februari 2025.

Fadhil Alfathan, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mengatakan pihaknya akan membuka pos pengaduan masyarakat terkait dugaan oplosan ini.

Pos pengaduan LBH Jakarta ini dibuka dari 25 Februari 2025 sampai dengan 5 Maret 2025.

"Banyak informasi yang belum kami dapatkan, khususnya mengenai dampak konkretnya kepada masyarakat secara umum. Itu yang mau kami kumpulkan melalui pos pengaduan," ujar Fadhil kepada BBC News Indonesia pada Rabu (26/02).

Fadhil mengatakan setelah informasi terkumpul, pihaknya baru bisa mempertimbangkan opsi-opsi advokasi seperti gugatan warga negara atau citizen lawsuit atau class action.

"Dari situ nanti kemudian baru kami bisa tentukan kira-kira opsi advokasi apa yang cocok dilakukan," ujarnya.


Print  

Comments powered by CComment

Publish modules to the "offcanvs" position.