Di balik geliat industri aset kripto yang terus berkembang, ada beban konsumsi listrik dan jejak karbon dari aktivitas yang dijalankan jaringan tersebut.
Sistem blockchain yang terdesentralisasi membutuhkan ratusan ribu komputer yang tersebar di seluruh dunia untuk menyala 24 jam tanpa henti. Tujuannya untuk memverifikasi transaksi dan mengamankan jaringan, sebuah proses yang sangat boros energi.
Sebagai contoh, jaringan Bitcoin (BTC) diproyeksikan mengonsumsi listrik sekitar 181,65 Terawatt-jam (TWh) pada pertengahan 2025. Angka ini bahkan pernah menyentuh 200 TWh sepanjang 2022.
Untuk menggambarkan besarnya, konsumsi listrik Bitcoin melampaui kebutuhan listrik seluruh Polandia (172 TWh) dan hampir setara dengan konsumsi listrik negara seperti Pakistan (183 TWh/tahun) atau Malaysia (197 TWh/tahun).
Lebih detail lagi, berdasarkan Digiconomist, setiap satu transaksi Bitcoin diperkirakan menyedot 1.066 kWh. Jumlah ini setara dengan listrik yang dipakai sebuah rumah tangga di Amerika Serikat selama satu bulan penuh, atau sekitar 10 bulan untuk rata-rata konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Di Indonesia, aktivitas penambangan kripto mulai berkembang meski menghadapi tantangan regulasi dan infrastruktur listrik. Dengan potensi energi terbarukan seperti panas bumi dan surya yang melimpah, peluang penambangan ramah lingkungan masih terbuka lebar.
Cara Mengamankan Jaringan
Aktivitas yang dikenal sebagai 'menambang' (mining rig) umumnya terjadi di jaringan seperti Bitcoin, Litecoin, dan Dogecoin. Platform edukasi kripto, Pintu Academy menjelaskan perangkat keras yang digunakan untuk menambang aset kripto biasa disebut mining rig.
Para 'penambang' menggunakan komputer khusus berdaya tinggi untuk bersaing memecahkan teka-teki matematika kompleks. Pemenangnya berhak menambahkan blok transaksi baru ke blockchain dan mendapatkan hadiah kripto.
"Perangkat untuk menambang, yang disebut mining rig, bisa terdiri dari banyak prosesor grafis (GPU) atau perangkat khusus seperti ASIC. Semakin tinggi daya komputasinya, semakin besar peluang mendapat hadiah, tapi konsumsi listrik dan biayanya juga semakin besar," jelas Pintu Academy, dikutip Selasa (2/9/2025).
Membangun satu rig penambang dengan 6 GPU bisa menghabiskan biaya hingga US$3.500, sementara satu perangkat ASIC seperti Antminer L7 dihargai sekitar US$5.000. Investasinya tidak kecil dan biasanya membutuhkan banyak perangkat.
Sementara itu, jaringan seperti Ethereum, Solana, dan Cardano menggunakan sistem yang berbeda disebut Proof-of-Stake (PoS). Di sini, pelakunya disebut validator (pemvalidasi), bukan penambang.
Untuk berpartisipasi, validator harus mengunci sejumlah kripto mereka sebagai jaminan. Syarat perangkat kerasnya tidak seberat penambangan, tetapi tetap membutuhkan komputer yang menyala 24 jam dengan koneksi internet stabil.
Menjadi validator di Ethereum misalnya, bisa membutuhkan biaya setara Rp100 juta untuk membangun komputer yang disarankan. Biaya listrik dan internet yang terus menerus juga menjadi pertimbangan penting.
"Meski menawarkan potensi keuntungan, aktivitas ini penuh risiko karena tingginya kesulitan, biaya listrik, dan fluktuasi harga kripto. Penting untuk menghitung titik impas dan efisiensi operasional," tambah Pintu Academy.
Jalan Menuju Energi Bersih
Dampak lingkungan ini membuat sejumlah negara mengambil tindakan. China, Kosovo, dan terbaru Angola telah melarang aktivitas penambangan kripto dengan alasan penghematan energi. Rusia menerapkan larangan terbatas di 10 daerah, terutama di Siberia saat musim dingin dimana konsumsi listrik memuncak.
Di sisi lain, ada yang memanfaatkannya. Parlemen Prancis sedang menjajaki penambangan kripto skala negara untuk menyerap kelebihan listrik dari pembangkit nuklir mereka.
Pelaku industri di AS juga mulai beralih ke energi bersih. Perusahaan seperti Gryphon, CleanSpark, dan TeraWulf berinvestasi pada perangkat yang hanya menggunakan listrik dari tenaga air, surya, atau nuklir untuk mencapai target nol emisi karbon.
Grayscale Research, firma investasi aset digital terkemuka, optimistis bahwa industri kripto justru dapat mempercepat peningkatan pasokan Energi Baru Terbarukan (EBT) di seluruh dunia.
Keyakinan ini mendapatkan konteks yang lebih luas dalam laporan terbaru Badan Energi Internasional (IEA). Laporan tersebut memproyeksikan bahwa permintaan listrik global dari pusat data diprediksi akan lebih dari dua kali lipat pada 2030, mencapai sekitar 945 TWh—angka yang sedikit lebih besar dari konsumsi listrik seluruh Jepang saat ini.
Kecerdasan buatan (AI) disebutkan sebagai pendorong paling signifikan dari kenaikan ini, yang permintaannya diproyeksikan meningkat lebih dari empat kali lipat.
Lonjakan permintaan ini tidak hanya soal kripto, tetapi merupakan gejala dari revolusi komputasi tinggi secara keseluruhan. IEA menegaskan bahwa negara-negara yang ingin mendapat manfaat dari potensi AI dan teknologi digital perlu mempercepat investasi dalam pembangkit listrik dan jaringan grid, serta meningkatkan efisiensi pusat data.
Alasannya, penambangan kripto—seperti pusat data dan kecerdasan buatan (AI)—adalah industri komputasi yang haus energi. Kebutuhan ini dapat memberikan insentif finansial untuk investasi dalam pembangkit listrik yang berkelanjutan, terutama di lokasi terpencil yang memiliki potensi energi terbarukan tetapi belum memiliki akses jaringan yang memadai.
Aktivitas penambangan juga dapat membantu menstabilkan jaringan listrik dengan menyerap kelebihan produksi energi yang biasanya terbuang. Contoh inovatif datang dari perusahaan seperti Crusoe Energy, yang menempatkan pusat data modular di dekat ladang minyak.
Mereka menangkap gas alam berlebih yang biasanya dibakar, mengubahnya menjadi listrik, dan menggunakannya khusus untuk komputasi, termasuk menambang kripto.
"Perkembangan teknologi seperti kripto dan AI akan mendorong lonjakan permintaan listrik. Grayscale percaya bahwa penambangan kripto, terutama Bitcoin, memiliki posisi unik untuk ikut mempercepat transisi dunia menuju energi yang lebih bersih," tulis laporan Grayscale berjudul The Power of Bitcoin Mining 2025.
Memahami dampak lingkungan sekaligus peluang energi terbarukan menjadi kunci penting agar pertumbuhan industri kripto di Indonesia dapat berlangsung berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Comments powered by CComment